Latar Belakang
Listeriosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh serotype
Listeria, termasuk di
dalamnya adalah Listeria monocytogenes. Listeriosis
merupakan penyakit yang berat dengan “Case Fatality Rate“ (CFR)
tertinggi dari seluruh penyakit yang tersebar lewat makanan (Endang, 2003 dalam
Novitasari, 2007)
Listeria monocytogenes pertama kali diisolasi
melalui jaringan tubuh seorang pasien di Jerman pada tahun 1981, melalui hati
kelinci pada tahun 1911 di Swedia, dan dari cairan spinal pasien meningitis
pada tahun 1917 dan 1920 ((Reed, 1958; McCarthy, 1990 dalam FAO/WHO, 2004).
Tidak
lama kemudian pada tahun 1926, Murray, Webb dan Swann mengisolasi bakteri
Gram-positif berbentuk batang yang menyebabkan penyakit epizootic pada kelinci
dan babi di tahun 1924. Mereka menamai organisme tersebut dengan Bacterium monocytogenes. Hal ini terjadi
setahun setelah listeriosis ditemukan pada domba dan dikenal sebagai gejala
penyakit, meskipun agen penyebabnya belum diisolasi. Mendekati waktu yang sama,
Pirie (1927) mengisolasi organisme sama pada seekor gerbil di Afrika Selatan.
Ia menamainya dengan Listerella hepatolytica. Pada tahun 1927 investigasi pada
kematian tikus tanah memberikan hasil adanya mikroorganisme baru yang memiliki
ciri-ciri sama tetapi dengan nama Listerella
monocytogenes. Namun pada tahun 1939
Komisi Yudisial dari Komite Internasional Bakteriologi Sistematik menolak
penamaan Listerella karena telah digunakan untuk spesies lain dari filum
Foraminifera. Pada tahun 1940 Pirie
mengajukan nama Listerella menjadi Listeria.
Mikroorganisme
ini telah dilaporkan dapat menyebabkan penyakit pada sejumlah besar hewan liar
dan domestik, dan telah diisolasi dari berbagai spesies mamalia, burung,
amfibi, ikan, udang-udangan, serangga dan reptile. (Hird and Genigeorgis, 1990;
McCarthy, 1990; Ryser and Marth, 1991 dalam FAO/WHO, 2004).
Infeksi
Listeric, disebabkan terutama oleh Listeria
monocytogenes, tersebar luas dan dilaporkan menyerang lebih dari 40 spesies
hewan liar dan domestic. Hewan yang diderang terutama ruminansia, domba,
kambing, dan sapi. Ada tiga bentuk listeriosis: ensefalitis, abortus, dan
septicemia (Low dan Donachie, 1997 dalam Nyyssönen dkk, 2006) Listeria monocytogenes dapat ditemukan
pada makanan dan bersifat patogen pada manusia (Hood, 2000)
Menurut OIE (2008), Meskipun
listeria dikenal sebagai agen patogen pada sejumlah hewan dalam beberapa tahun,
namun secara signifikan listeria merupakan agen patogen pada manusia yang
mengkontaminasi makanan dan menjadi salah satu agen penyakit paling penting
yang menyebar lewat makanan (Food Borne Disease)
Etiologi
Listeriosis
pada umumnya disebabkan oleh infeksi dari Listeria monocytogenes, bakteri Gram
Positif berbentuk batang yang termasuk dalam Famili Listeriacae. Organisme ini
merupakan patogen intracellular fakultatif. Ada 13 serovar dari L. monocytogenes. Meskipun kesemuanya
dapat berpotensial menjadi patogen, serovar 4b, 1/2b, dan 1/2a merupakan agen
penyakit pada hampir semua hewan dan manusia.
L. ivanovii
(dahulu dikenal sebagai L. Bulgarica
atau serovar ke 5 dari L. monocytogenes)
yang dapat menyebabkan abortus pada sapi dan kerbau, atau septikimia pada
domba. Infeksi L. ivanovii dan L. seeligeri jarang dilaporkan pada
manusia. L. welshimeri dan L. grayi tidak pernah ditemukan pada
manusia.
Karakteristik dan Morfologi
Listeria
sp. berbentuk batang (Krauss et al. 2003), berukuran kecil (diameter antara 0.5
µm sampai 2 µm), dan termasuk bakteri gram positif. Bakteri ini bersifat tunggal atau membentuk
rantai pendek, dan membentuk huruf V atau Y pada palisade. Beberapa sel berbentuk kokoid sehingga sulit
dibedakan dengan Streptococcus. Listeria
tidak memproduksi spora dan tidak membentuk kapsul serta bersifat motil karena
memiliki flagela peritrich.
Listeria
monocytogenes bersifat β-hemolisis (melisiskan darah dengan sempurna). Uji CAMP menunjukkan hasil positif (Gambar
2), yang berarti bahwa bakteri memiliki substansi yang dapat bereaksi dengan
Staphylococcus aureus (Abbas dan Lichtman
2003 dalam Hanson, 2006).
Uji
CAMP (dicetuskan oleh Christie Atkins Munch Peterson) adalah uji standar yang
digunakan untuk mengidentifikasi bakteri Streptococcus
agalactiae melalui reaksi CAMP yang terlihat. Uji CAMP dikembangkan untuk mengidentifikasi
karakteristik bakteri terhadap sifat melisiskan darah (McFaddin, 2000 dalam
Hanson, 2006). Uji CAMP menggunakan bakteri Staphylococcus
aureus (β-hemolisis) dan Streptococcus
agalactiae yang bersifat CAMP positif (Hanson 2006).
Identifikasi
rutin Listeria sp. yang diisolasi dari makanan dilakukan dengan menggunakan
marker fenotip. Agen ini dapat bertahan
di lingkungan yang ekstrim dengan kandungan garam tinggi (10%) dan diberi agen antimicrobial.
Listeria monocytogenes dapat tumbuh
pada silase yang memiliki kualitas buruk (pH ≥ 5). Pada susu yang tidak
dipasteurisasi agen dapat tumbuh pada suhu 4 °C
Gambar
menunjukkan Uji CAMP menunjukkan hasil positif untuk Listeria monocytogenes yang diinokulasi pada bagian sudut kanan
β-hemolytic Staphylococcus aureus. Zona
berbentuk mata panah terlihat pada media agar darah yang mengalami proses
hemolisis mengindikasikan hasil positif untuk uji CAMP (Hanson 2006).
Patogenesa
Listeria
monocytogenes merupakan bakteri yang banyak digunakan dalam mempelajari infeksi
bakteri intraseluler. Bakteri ini dapat
bertahan hidup di dalam makrofag dan menghindari mekanisme bakterisidal oleh
makrofag. Adanya Listeria monocytogenes di dalam makrofag memicu produksi IL-2 yang
akan menstimulasi sel natural killer, membantu diferensiasi pH 0 menjadi pH 1,
dan menstimulasi CD8 CTLs.
Interleukin-2
merupakan sitokin yang disebut hormon leukositotropik serta berperan sebagai
stimulan proliferasi sel B dan sel T. CD8 CTLs adalah sejenis sel T yang dapat
mengenali peptida antigen dan memiliki kapasitas untuk menginduksi kerusakan
pada sel yang terinfeksi. Ketiga sel ini
akan mensekresikan IFN-γ, suatu hormon sitokin yang dihasilkan limfosit akibat
induksi antigen, yang berfungsi mengaktivasi makrofag untuk memproduksi oksigen
reaktif, menstimulasi produksi antibodi, dan mengopsonisasi bakteri dengan
tujuan akhir membantu fungsi efektor makrofag (Abbas dan Lichtman 2003 dalam
Novitasari, 2007). Listeria monocytogenes
bergerak dari satu sel ke sel lain yang berdekatan dengan membentuk
kumpulan actin-rich tails di dalam sitoplasma
Setelah terjadi
penularan, bakteri akan menembus selaput mukosa mulut atau hidung dan alat
pencernaan, selanjutnya menuju otak dan menyebabkan infeksi otak. Selama
stadium awal listeriosis, neutrofil dan makrofag bermigrasi ke hati dan limpa
membentuk mikroabses. Neutrofil menunjukkan peran penting dalam mengontrol fase
akut dan memediasi destruksi hepatosit in vivo. Produk yang dilepaskan makrofag
dan neutrofil yang telah diaktifkan dapat merusak jaringan normal. Jika respon imun adekuat, kerusakan tersebut
akan menjadi normal kembali sebab makrofag yang diaktifkan juga akan menginduksi
perbaikan jaringan dengan mensekresi growth factor yang merangsang proliferasi
fibroblas, sintesis kolagen, dan angiogenesis (Novitasari, 2007)
Gejala Klinis
Gejala
klinis yang tampak pada hewan biasanya berupa ensefalitis, septikimia, dan
abortus, terutama pada domba, kambing dan sapi. Gejala septikimia relative
tidak biasa, namun pada umumnya terjadi pada neonatus. Hal ini ditandai dengan
depresi, kehilangan selera makan, demam, dan kematian. Ensefalitis kadang
merujuk pada “circling disease” karena hewan cenderung bergerak berputar searah,
dan merupakan gejala yang umum terjadi pada ruminansia. Gejala lain yaitu
depresi, anorexia, penekanan pada salah satu sisi di kepala dan paralisa facial
unilateral.
Abortus biasanya terjadi kemudian
(setelah kehamilan 7 bulan pada sapi, dan 12 minggu pada domba) (Hird, 1990
dalam OIE, 2008). Hanya salah satu gejala klinis yang tampak pada sekelompok
hewan. Ophtalmitis terjadi pada sapi dan domba. Mastitis pada ruminansia jarang
terjadi, namun infeksi gastrointestinal sering terjadi pada domba.(Clark, 2004
dalam OIE, 2008)
Gejala klinis pada burung jarang
terjadi, namun banyak terjadi pada hewan-hewan muda. Septikimia merupakan
gejala yang umumnya terjadi. Gejala lain adalah depresi, tidak berkicau, diare,
dan ematiatio. Kematian perakut dapat terlihat, dan kadang disertai dengan
gejala lain. Meningoensefalitis umumnya terjadi ditandai dengan tortikolis,
stupor, tremor, dan paresis atau paralisis. Pada angsa muda, ensefalitis dan
septikimia terjadi bersamaan.
Pada kelinci, L. monocytogenes menyebabkan abortus dan kematian tiba-tiba.
Ensefalitis jarang ditemukan,dan kelinci yang terinfeksi memiliki gejala klinis
lain seperti anorexia, depresi, dan turunnya berat badan.
Pada
babi, listeriosis jarang terjadi. Gejala yang paling umum tampak pada anak babi
adalah septikimia hingga kematian pada hari ke 3 dan 4. Ensefalitis dan abortus
sering terjadi.
Kasus ensefalitis atau septikimia
jarang terjadi pada kucing. Gejala klinis yang terlihat hanya berupa depresi,
kehilangan nafsu makan, sakit pada abdomen, muntah, dan diare. Septikimia dan
gejala saraf seperti rabies dapat terjadi pada anjing.
(OIE, 2008)
Histopatologi
Pemeriksaan
post mortem dan histopatologi bergantung pada tingkat gejala klinis yang
terlihat pada hewan terinfeksi. Pada gejala ensefalitis cairan serebrospinal
terlihat berkabut dan kongesti pada pembuluh darah meningeal. Lesi-lesi kasar pada
otak jarang ditemukan. Kadangkala, area medulla otak melunak. Bagaimanapun,
histopatologi merupakan gambaran penyakit, yang mengandung foci sel-sel radang,
cuffing perivaskular yang didominansi oleh limfosit dan histiosit, sel plasma dan neutrofil. Mikroabses pada
batang otak sering mempengaruhi salah satu sisi otak. Medulla dan pons
merupakan organ yang paling sering terpengaruh.
1 komentar:
Useful article. thanks.
Kelinci
Posting Komentar